"Tumben", Reflek yang Jelek!

Wajah orang yang gemar ngomong tumben
Wajah orang yang gemar ngomong tumben

Sadar gak sih, satu kata sederhana yang kerap bikin orang jadi males berubah adalah “tumben”. Kata ini punya arti di kamus sebagai “ganjil benar kali ini”. Kata satu ini kerap diucapin seseorang yang melihat orang lain melakukan sesuatu yang gak biasa dilakukan. 

 

Sifatnya memang reflek. Manusia pasti kaget ketika melihat perbedaan. Tapi sebenarnya gak semua reflek mesti dikeluarkan begitu aja. Butuh pembiasaan agar sesuatu yang harusnya menjadi reflek tetapi bisa tertahan atau tergantikan dengan jenis reflek lain. Contohnya, manusia reflek ngomong binatang ketika kaget. Sebenarnya bila dilatih, kagetnya orang tersebut bisa diganti dengan kata/frasa lain yang bukan binatang. Iya, kan?

 

Sama halnya dengan “tumben”. Tapi sebenarnya kenapa saya mempermasalahkan kata “tumben”?

 

Casenya begini… dari yang kerap saya jumpai:

Seseorang tiba-tiba sedekah ke pengemis. Seseorang tiba-tiba sholat. Seseorang tiba-tiba baca buku. Seseorang tiba-tiba olahraga. Terus temannya yang melihat perbedaan, melepas reflek: “Tumben, nih! Biasanya kagak pernah lu shalat! Gak pernah lu olahraga! Dst…

 

Pernah juga ngejumpain case seperti itu? Gatel juga gak, sih? Bawaannya bukan pengen marah atau emosi. Tapi cuma menyayangkan aja. Khawatirnya, teman yang lagi ingin berubah atau ingin ngebangun habit baru itu, jadi berubah mood-nya. Karena dia merasa, perubahannya bukan malah mendatangkan respon positif atau suportif. Eh, malah mendapat respon yang kesannya sinis dan menurunkan semangat.

 

Lagi pula, sebenarnya respon semacam itu kan bisa kita tahan, atau justru kita ganti dengan frasa/kalimat lain yang jauh lebih menyenangkan untuk didengar. Seperti, “Wiiii, masyaAllah Rayanza! Mau sholat Zuhur? Bareng dong!” 

 

Coba deh bandingin dengan respon lain, yang kayak gini. “Idih, tumben lu sholat! Biasanya jam segini lagi ngorok!” Beda gak kesannya?

 

Justru, momen saat ada kerabat/teman kita yang lagi proses ngebangun habit baik. Itu adalah kesempatan paling besaaaarrr untuk dapet pahala dan untuk mendatangkan kebahagiaan ke orang lain. Mood orang itu akan berubah jadi lebih happy dan antusias saat orang-orang bersikap suportif ke dirinya. Ini sudah menjadi hal alamiah dalam diri manusia.

 

”Sesungguhnya Al Qur’an ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus dan memberi kabar gembira kepada orang-orang yang beriman yang mengerjakan amal shalih bahwa bagi mereka ada pahala yang besar.” (QS. Al Israa’ [17]: 9).

 

Lihat deh ayat di atas. Ada banyak sekali orang yang termotivasi berbuat baik selepas ia mendengar nasihat dari Quran, baik secara langsung atau lewat perantara. Mereka pada akhirnya tergerak untuk berbuat kebaikan (amal shalih), karena mereka ingin meraih pahala atau merasakan kegembiraan saat melakukan kebaikan itu.

 

Tapi…

 

Kegembiraan orang tersebut bisa redup. Amal shalih yang lagi coba dibangun jadi runtuh. Hanya lewat 1 kata reflek, yang jelek. “Tumben”.

ARGUMEN TANDINGAN:

“Ah, elah! Itu mah salah orangnya aja yang baperan. Masa berubah mood-moodan? Masa berbuat baik jadi berhenti karena ucapan orang lain? Itu mah niatnya udah keliru!”

 

Saya yakin argumen di atas pasti muncul. Cara saya menjawabnya simple. Belajar deh, ilmu psikologi

 

Faktor lingkungan dalam psikologi amat penting dalam memengaruhi kedirian manusia. Stimulus yang diberikan lingkungan gak mungkin diterima secara netral oleh manusia. Kenapa? Karena manusia memaknai dan karena manusia punya perangkat perasaan + pikiran yang sudah tertanam nilai. Amat mustahil manusia menerima stimulus netral. Semuanya akan ia maknai.

 

Dan dalam diri seseorang yang sedang berubah. Ada kebutuhan dalam diri mereka untuk mendapatkan dukungan. Ingat, ya. Dukungan tak harus dari manusia lain memang. Bisa juga datang dari suasana yang baik, tempat yang nyaman, bahkan dari kucing. Karena ada orang yang tiap ketemu kucingnya jadi happy.

 

Nah, kata “tumben” itu adalah kontradiksi dari suportif. Kata itu menuduh orang lain “sedang ganjil”. Inget lagi makna kamusnya di atas. Orang yang sedang berubah itu dicap “sedang ganjil, sedang aneh, sedang tak seperti biasanya”. 

 

Memang, orang yang sudah belajar kebijaksanaan. Tentunya bisa meramu setiap hal negatif agar berubah menjadi positif. Bisa saja orang bijaksana itu akan merespon dalam hatinya, “Ah, gak apa-apa dicap sedang ganjil atau sedang aneh. Kan memang faktanya begitu. Orang yang lagi berubah pasti melewati fase dianggap aneh. Karena kan gua lagi berubah dari satu hal ke hal lain. Perubahan akan menimulkan hal aneh.”

 

Masalahnya, berapa persen orang yang telah mencapai kebijaksanaan itu? Butuh waktu yang panjang untuk terus belajar menjadi bijaksana. Kita yang memahami itu, tentunya harus mengatur sikap. Ada banyak orang yang harus kita pahami dirinya, keadaannya, kondisi psikisnya. Maka, wajiblah kita bersikap empati.

Empati terhadap orang yang sedang berubah. Empati dengan tidak terlalu banyak melempar kata “tumben”. Empati dengan meminimalisir reflek yang jelek.

Bagikan Konten Ini

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *