Pantulan Semesta
Oleh: Lengka Darwa
Kita hadir berkat tangan yang sama. Tangan yang tak bisa diberi batas, oleh apapun ukuran. Tangan yang sama, yang juga melahirkan semesta sepenuhnya. Dari yang tak teraih besarnya. Sampai ke yang tak terjangkau kecilnya.
Kita yang kecil pun harus rela hidup dalam semesta yang luas. Sepanjang tahun kemudian kita hidup menumpang di semesta lepas. Selama itu pula, semesta tak bosan mencerminkan dan memindahkan pantulannya ke diri kita.
Kulit terluar kita menyimpan terang kartika. Kartika yang gemar bersemayam di hamparan tata surya, ternyata ingin menularkan keindahannya pada rupa manusia. Jadilah kulit kita menguning, menggelap, memutih, berkat kucuran cahaya kartika. Semuanya adalah perlambang keindahan. Kuning indah, hitam indah, putih indah. Karena semuanya adalah cahaya kartika, yang pesonanya selalu dipuja-puja penyair dan makhluk pada umumnya.
Segala tunas di tubuh kita dihidupi tirta. Maka kita pun beranjak dewasa dan tua. Sebab, memang apa saja yang ada di dalam tubuh dan melekat pada tubuh, setiap saatnya bergantung pada tirta. Tirta yang diterima tunas-tunas tubuh kita berasal dari langit, dititipkan malaikat Tuhan. Tirta itu memang selanjutnya mengendap lama pada lubang-lubang bumi. Dari sana juga tirta itu kita serap. Selain menumbuhkan, tirta juga menyucikan kita yang terbiasa bernoda. Tirta tak berpikir apakah mau menerima kotor kita. Kita pun tak malu mendekat pada tirta.
Pada nafas yang siklusnya tiada pernah lelah, ada campuran bayu yang dibawa entah dari mana saja. Menyisir dari hidung, ke paru-paru, atau bahkan sampai meresap ke sukma. Karena itulah kita dapat merindu. Bayu dari tempat orang terkasih, tercinta, tersayang memutuskan datang. Bayu adalah syarat kehidupan paling utama. Juga surat kabar paling jitu. Orang yang sedang jatuh cinta, kerap menitipkan suaranya lewat bayu. Bahkan, tak hanya di bawah, bayu bisa menembus langit. Kemudian mengetuk pintu batas antara orang hidup dan orang mati. Itulah mengapa suara orang-orang yang kita kenal dan telah di langit, terasa mengendap di jiwa. Karena bayu yang mengantarkannya.
Kita tak akan utuh bila tak ada debu. Karena unsur utama itulah yang membentuk kesempurnaan kita. Debu yang dipilih Tuhan teramat spesial. Rupa akhirnya bertahan meski telah melintasi alam. Debu di alam dunia memang tak spesial seperti debu Tuhan. Kita menolak bersatu dengan debu dunia. Semenjak saat masih hidup sampai ketika mati. Kala hidup, kita tolak debu karena sifatnya yang melukai kebersihan. Kala mati, kita juga menolaknya karena sifatnya yang mengakhiri kesempatan. Padahal debu itu telah diminta Tuhan untuk menjadi pengganti tirta buat bersuci. Padahal debu itu adalah diri kita.
Sudah jelaslah bahwa semesta adalah hadiah paling tak terbalas yang Tuhan berikan ke manusia. Kita teramat jarang mensyukurinya. Lebih sering kita mengerang ketidakpuasan dengan semesta yang sebenarnya sudah sempurna. Kita memang tak sopan pada kesempurnaan. Pada Yang Tertinggi saja kita begitu. Apalagi dengan ciptaanNya?
Kita ini kepingan yang dihasilkan oleh kartika, tirta, bayu, debu, dan elemen-elemen yang tak sanggup kita sebut semuanya. Kita bagian dari semesta raksasa. Maka wajiblah lahir perenungan dan petikan hikmah. Bahwa kita mesti bersyukur setiap harinya, memuja semesta dan Penciptanya. Tak berhenti, kita mesti juga merasa teramat kerdil dan tak berdaya. Karena jadi seperti apa hidup insan, bila semesta dan elemen-elemen di dalamnya tak berniat memberikan kontribusinya pada diri kita?
(20 November 2024)