Matinya Bintang
Oleh: Lengka Darwa
Saya pikir, menyadari kemungkinan bahwa bintang yang kita lihat saat ini adalah bintang dari ratusan hingga ribuan tahun lalu, sungguh membuat nalar kita tergeletak tak berdaya.
Pada detik saat kita menengadahkan pandangan ke bintang, sesungguhnya semesta sedang memutar proyeksi jejak masa lalu berupa kilauan dari gugusan bintang. Dan kita pun menikmati proyeksi itu.
Perasaan takjub yang hadir saat kita menikmati keindahan bintang adalah pengalaman unik. Karena selain fakta bahwa kita sedang menikmati keindahan masa lalu. Bersamaan dengan itu, memungkinkan juga kita sedang menikmati buah dari kematian.
Sebab, bintang yang nyalanya memesona di cakrawala bisa saja sudah mati ribuan atau jutaan tahun lalu atau sedang sekarat saat ini. Hal ini didasari kenyataan bahwa cahaya yang tiba ke bumi butuh waktu yang begitu lama tergantung dari jarak bintang berada.
Kita teramat sulit menjelaskan pengalaman unik tersebut, bukan? Bagaimana bisa kita menikmati keindahan dari sesuatu yang sudah tiada? atau sedang sekarat? Kenyataannya begitu, tak bisa dipungkiri!
Saya yakin, kita mengira telah merasakan pengalaman unik sejenis di dunia, bukan? Pengalaman saat kita menikmati keindahan dari sesuatu yang sudah tiada. Contoh terdekatnya adalah saat kita mengagumi mahakarya para pemikir/seniman dunia. Buah pikiran dan tangan mereka dari ratusan-ribuan tahun lalu bisa dengan jelas kita baca dan nikmati.
Sama seperti bintang di belahan terjauh angkasa dan dimensi yang berbeda, para pemikir dan seniman yang telah tiada dapat terus terasa hadir. Meski sudah terpotong waktu ratusan atau ribuan tahun. Menyadari hal ini, mustahil hati kita tak terkagum-kagum. Inilah bagaimana semesta bekerja. Semua akan tersimpan jejaknya sampai benar-benar Tuhan mengakhiri semuanya. Pada waktu eksistensi ditiadakan.
Baca Juga: Pantulan Semesta
Jejak seisi semesta semuanya indah. Baik jejak eksistensi manusia maupun eksistensi bintang. Lukisan, desain arsitektur, pemikiran, bangunan kuno yang merupakan buatan manusia di peradaban lalu secara jujur tampak indah di mata estetik dan intelektual kita, bukan?
Keheranan jiwa kita akan berulang kali menanyakan, bagaimana bisa kompleksitas dan kerumitan karya yang kita anggap mustahil, nyatanya bisa dihasilkan oleh sesama manusia. Makhluk yang sama-sama berjiwa, bernalar, dan berkebutuhan (biologis, sosiologis, psikologis) yang persis. Dan jejak-jejak keindahan juga keluarbiasaan dari manusia tersimpan hingga saat ini.
Namun, ada perbedaan signifikan antara jejak manusia dan bintang yang membuat, seperti yang saya singgung di atas – akan membuat nalar kita tak berdaya. Manusia yang mati, jejaknya dalam bentuk karya memanglah indah dan luar biasa. Namun, jejak manusia mati dalam bentuk fisiknya amatlah rendah. Karena manusia yang mati akan kembali ke tanah. Terkubur, tersisa tulang, bahkan boleh jadi melarut bersama hitam dan gemburnya tanah.
Sedang bintang? Karya yang dihasilkannya dalam bentuk cahaya tak dipungkiri lagi keindahan dan keluarbiasaannya. Cahaya dari salah satu bintang, yakni matahari tak cuma indah tapi juga menghidupi seluruh makhluk dari seluruh peradaban dan zaman. Jadi, kita tak punya alasan mengelak dari keindahan dan keluarbiasaan karya bintang-bintang.
Yang tak kalah juga mengagumkan adalah keindahan itu tak hilang meskipun sebuah bintang redup dan mati. Ia hanya mengubah bentuknya. Katai putih dan supernova adalah wujud dari keindahan bintang yang sudah mati.
Bintang katai putih merupakan bintang kecil yang telah kehabisan energinya. Tapi cahayanya tak mendadak hilang. Kilauan sisa energinya tetap bercahaya dan secara jujur pasti akan tetap membuat mata manusia mengaguminya.
Supernova yang merupakan ledakan masif bintang berenergi besar pun keindahannya tak terlukiskan. Kilauan warna-warni dan gelombang yang membentuk pola mirip seperti ruh yang keluar. Ah! Jiwa siapa yang tak tertegun saat melihat gambar rekaannya saja. Apalagi bila kita diberi kesanggupan untuk melihatnya langsung? Bisa diam sejuta bahasa kita!
Itulah perbedaan nyata yang membuat jejak eksistensi bintang lebih memesona dibanding jejak eksistensi manusia. Kelebihan itu ada pada jejak fisiknya. Manusia melebur jadi tanah dan kembali pada tempat seharusnya mereka, yaitu di bawah. Sedang bintang melebur jadi kilauan dan bintang kecil yang tak kehilangan pesona dan tetap pada tempat seharusnya mereka, yaitu di atas.