Ibuku adalah Kematian

Ilustrasi Ibu dari Gembara di Foto Terakhirnya
Ilustrasi Ibu dari Gembara di Foto Terakhirnya

Tak ada yang aneh dari sosok pria itu. Bila sebatas dari penampilan ditilik. Namun bila beranjak ke detail hari-harinya, ia adalah keganjilan. Bahkan banyak orang di sekelilingnya yang merasa pria itu adalah pembangkang paling aneh dalam agamanya.

 

Dalam agama si pria, adalah pelanggaran keras bagi siapapun melakukan ritual yang tak pernah diajari oleh nabi dan rasul, atau oleh Tuhan itu sendiri. Ritual apapun yang tak diarahkan pada tujuan hakiki adalah pengkafiran diri. Tapi si pria pun tak bisa menolak dorongan kuat yang mengguncang hidupnya. Dorongan itu bisa ia jelaskan pada siapapun yang ragu. Tapi orang tidak akan bisa mudah percaya dengan alasan si pria. Maka sia-sialah bila ia menjawab keraguan siapapun.

 

“Gembara. Sudah berapa kali Paman menasihati. Kasihanlah dengan keluargamu. Perbuatanmu mencipratkan pengaruh buruk pada kami.”

 

“Ah, Paman! Masa kalah dengan cibiran?”

 

“Bukan begitu. Katakanlah Paman sanggup menahan cibiran itu. Tapi bagaimana dengan Nenekmu? Saudaramu?”

 

“Sudah kubilang sejak lama. Bahwa apa yang kulakukan ini adalah urusanku. Kenapa orang ikut campur sampai ke kulit-kulit terdalam hidupku? Itukah tujuan hidup yang benar?”

 

“Anak durhaka kamu! Bapakmu sudah bertahun-tahun membesarkanmu. Dan begini balasanmu?” Urat leher Naryadi sudah menonjol.

 

“Aku tidak ingin jadi durhaka, Paman. Niatku tak kelihatan, bukan? Tapi kenapa manusia seenaknya menggiring tuduhan seolah mereka tahu niatku?”

 

Naryadi mulai tak nyaman. “Niat mendurhakai agamamu? Semua tampak dari tingkah lakumu!”

 

“Tapi apakah semua perilakuku bisa dikumpulkan jadi kesimpulan yang mencapku durhaka?”

 

Naryadi meneguk terakhir kali kopinya. Ia menggeleng-geleng menyerah. “Ya! Beginilah zaman sekarang membesarkan anak seusiamu Membangkang pada segalanya. Membangkang pada yang tua, membangkang pada Tuhannya sendiri!”

 

Naryadi yang muak, menyuruh dengan keras agar keponakannya itu segera keluar dari rumahnya. Kala itu memang bukan maksud awal Gembara untuk berkunjung ke rumah pamannya. Rumahnya memang melewati rumah pamannya. Di perjalanan, ia dipanggil oleh sang nenek untuk membantu paman Gembara menambal atap di belakang yang bocor. Keduanya melakukan kerja sama perbaikan genteng dengan ketegangan. Sebab telah bertahun-tahun keduanya dipisahkan oleh perbedaan cara pandang dalam menjalani hidup.

 

Gembara pun pergi tanpa menoleh. Ia tak ingin mengemis apalagi direndahkan begitu saja oleh pamannya. Sudah cukuplah ia menanggung amarah yang ditahannya bertahun-tahun. Tak enak, bila ia membantah keras pamannya itu meski ia mampu. Berkelahi pun ia tak ragu. Tetapi ada hati neneknya yang ia jaga.

 

Bapak dan pamannya sama saja. Pemabuk ulung. Perugi keluarga yang handal. Kelebihan yang dirasa dimiliki kedua orang itu adalah berlagak mengatur kebijakan keluarga. Senang hati mereka itu bila masukan dan nasihat berhasil didengar dan dijalani anggota keluarga yang lain. Tapi Gembara pengecualian. Ia akan terus menutup telinga sampai hayatnya selesai kalau perlu.

 

Gembara perhatikan, memang sudah sebulan belakangan ini mata para tetangganya makin tajam. Saat ia pulang bekerja di larut malam, tatapan mereka menjadi sinis. Padahal, Gembara sedikit pun tak paham apa salahnya sampai diperlakukan begitu. Ia hanya menjalani rutinitasnya bekerja di pabrik kaca, pulang ke rumah, berkunjung ke rumah teman dekatnya, sebatas itu saja. Tapi entah kenapa ia jadi sasaran kesinisan para tentangganya.

 

Setibanya Gembara di rumahnya. Ia lekas membersihkan diri. Kumandang adzan maghrib telah sampai di rumahnya. Suara itu melantun indah, seperti yang biasa didengarnya di rekaman adzan Makkah. Sepertinya hari ini muadzinnya adalah si Abdul Muis. Dia rekan SMA Gembara dulu.

 

Untuk maghrib ini, ia tunaikan dulu salatnya di rumah. Sebab, badannya dipenuhi rasa pegal setelah setengah hari membantu pamannya membetulkan atap rumah. Pasca maghrib, ia hendak pergi ke tukang jamu langganannya, yang letaknya cukup jalan kaki dari rumahnya.

 

Saat sedang mengais apa saja yang ada di meja belajarnya, untuk menemukan dompetnya. Smartphone-nya berdering. Itu Rumaysa. Rum, kerap ia dipanggil oleh Gembara. Kekasihnya yang baru setengah tahun ini menjalin hubungan. Dari usia, perempuan itu setahun lebih muda dibanding Gembara namun setahun lebih dewasa perilakunya. Cara bicaranya padat dan sedikit berat. Ia tak banyak tersenyum kecuali ketika mendengar candaan Gembara.

 

“Mau ikut? Kalau iya. Aku jemput kamu dulu. Setelah itu, kita mengobrol di tukang jamu. Bagaimana?”

“Kapan kamu mau membawaku ke kedai kopi mahal?” Rumaysa hendak menggoda kekasihnya itu.

 

“Sebelum kita dekat saja, kuperhatikan kamu tidak pernah ke sana. Kenapa tiba-tiba ingin?” Tanya Gembara balik menggoda.

“Kata orang, di sana enak untuk muda-mudi bersantai. Chill.

 

Suara Gembara padam sejenak. Tapi kemudian ia meledek Rumaysa sebagai perempuan yang telat gaul. Istilah inggris yang diucapkannya terdengar begitu dipaksakan. Rumaysa meresponnya dengan tawa tak terima.

 

Rumaysa kemudian menarik lagi humornya itu, “Sudahlah, jangan dipikirkan. Aku hanya bercanda. Tabung saja uangmu dulu untuk melamarku tahun depan. Ya, kan?”

 

“Gila kamu, Rum! Baru 6 bulan kita dekat. Mana mungkin dalam jangka waktu setahun cukup bagiku mengumpulkan uang puluhan juta?”

 

“Belasan saja sudah cukup sepertinya. Yang terpenting sampai waktu pernikahan itu, kamu bisa meyakinkan kesetiaanmu.” Rumaysa tersenyum manis di balik smartphone-nya.

 

“Ini yang kusuka dari pribadimu, Rum. Tak menuntut banyak permintaan. Tapi bagaimana dengan Bapak dan Ibumu?” Gembara tertawa menggoda.

 

“Sedikit demi sedikit sudah kululuhkan hati mereka, agar terbuka menerima kamu, Bara. Dan syukur, hasil 6 bulan usahaku berbuah manis. Kini mereka tak lagi mempermasalahkan omongan tetangga sekitaranmu itu.”

 

“Syukurlah,” Gembara lapang sekali dadanya. “Sudah selangkah aku dimudahkan untuk memilikimu. Kini berarti hanya masalah uang lamaran dan modal pernikahan, ya?”

 

Rumaysa tersipu. Dan tawa kecilnya yang melelehkan bisa terdengar jelas di telinga Gembara. Ia pun mendadak tersenyum bodoh.

 

“Ya, begitulah. Itu sudah jadi kultur di masyarakat kita. Kita janganlah membangkang terlalu keras dengan kultur semacam itu.”

 

Perbincangan itu terjeda. Sampai Rumaysa yang kemudian memastikan kekasihnya masih ada di balik perbincangan telepon mereka.

 

“Ya, aku butuh belajar darimu untuk menoleransi kultur-kultur aneh yang ada di masyarakat kita.”

 

Seperti biasa, bantah-membantah berlangsung untuk sementara. Debat kusir itu baru berhenti selepas nyeri di punggung Gembara sudah tidak bisa ditolerir lagi.

Di Tukang Jamu.

 

“Aku pesan kunyit saja, ya,” ucap Rumaysa kemudian duduk dengan anggun.

 

Saat itu, sudah ada 1 orang yang sedang meneguk anggur dengan kelewat santai. Pria paruh baya itu duduk di sebelah kanan Gembara, tak seberapa dekat. Bau mulutnya tercium pekat oleh kedua sejoli itu. Gembara sudah biasa. Tapi bagi Rumaysa, mungkin itu adalah aroma kedosaan yang baru ia cium.

 

Gembara meminta kekasihnya untuk bersabar satu jam saja. Sebab, Gembara ingin meringankan beban pikirannya di tukang jamu itu. Mendengar lalu lalang kendaraan, meneguk jamu pereda nyeri, dan mengobrol dengan kekasihnya. Itulah perpaduan yang mendamaikan.

 

“Bara, apa benar, Ibumu dulu sepertiku?”

 

Mulut Gembara tampak aneh selepas ia meneguk jamu pahit itu. Kemudian ia menatap ke Rumaysa, perempuan itu jadi cekikikan.

 

“Kata siapa?”

 

“Nenekku.”

 

Sudah 5 tahun Rumaysa berpindah rumah bersama keluarganya. Dahulu, sejak perempuan itu belum lahir. Rumah mereka hanya terpisahkan 3 bangunan dengan rumah keluarga Gembara. Nenek Rumaysa memang dikenal dekat dengan Setya, ibu dari Gembara. Nenek itu kerap menjadi teman mengobrol di kala Setya sedang tersakiti akibat perlakuan bapak Gembara, Komeng.

Komeng kerap seenaknya mengambil uang istrinya untuk dipakainya mabuk dan berjudi. Bahkan baru diketahui di tahun terakhir sebelum Setya meninggal, suaminya itu telah menikah dengan wanita lain. Dan sudah dikaruniai satu anak, yang sudah tumbuh menjadi balita.

 

Mental wanita itu memang terguncang hebat di bulan-bulan terakhirnya. Dan nenek Rumaysa tahu betul bagaimana perasaan Setya. Maka ia kerap datang selepas ashar membawa uli atau pisang goreng beserta teh hangat untuk disantap bersama. Sajian itu lumayan membawa kembali senyuman di wajah Setya.

 

“Memangnya apa kata Nenekmu?” Gembara penasaran.

 

“Bu Setya sangat tertutup pada semua lelaki, kecuali pada Bapakmu.”

 

“Ya, aku dengar juga begitu. Entah kenapa Ibu bisa begitu. Mungkin sudah dipelet Bapakku.” Gembara memasang raut mengejek.

 

Rumaysa memandang kekasihnya itu dengan penuh kasih. Gembara sadar, dan ia menatap balik tatapan sejuk itu. Ia merasa beruntung memiliki Rumaysa.

 

“Rindumu itu kapan bisa terlunasi?”

 

“Pada siapa? Ibuku? Tak akan pernah, Rum.”

 

“Kasihanilah Ibumu. Mungkin ia tak akan pernah tenang melihat anaknya belum juga mengikhlaskan kepergian Ibunya.”

 

“Apa arti mengikhlaskan? Melupakan?” Gembara menatap dengan sungguh.

 

Rumaysa berpaling. Ia meneguk kunyit itu dulu. Ia sisakan seteguk lagi. Kemudian ia minum jahe penawar itu. Dan ia menatap lagi ke arah kekasihnya.

 

“Kamu tahu, Bara. Sekalipun aku tak pernah malu memilikimu.”

 

Tiba-tiba sekali, pikir Gembara. Tapi ia tersentuh dengan perkataan itu. “Ya, aku tahu. Aku tak perlu menanyakan apapun. Tapi yakin? Akan menikahi si pemburu kematian?”

 

Tulang pipi perempuan itu tampak ketika melepas senyum segar. Dan gigi itu tersusun rapi, ukurannya kecil. Pesona itulah yang berulang kali meluluhkan jiwa Gembara.

 

“Hari ini sudah dapat kabar?”

 

“Belum,” jawab Gembara singkat.

 

Kabar yang dimaksudkan Rumaysa adalah kabar orang meninggal di hari ini. Sudah bertahun-tahun Gembara coba menyebar informasi dari satu orang ke orang lain. Permintaan agar siapapun yang memiliki kerabat atau kenalan yang meninggal di hari itu. Lekaslah mengabari Gembara. Karena lelaki itu akan datang saat itu juga. Menemui yang meninggal, meminta izin kepada kerabat sang mayit. Setelah mendapatkan izin, maka Gembara akan melakukan ritualnya. Ritual yang membuatnya dicap pembangkang agama.

 

Gembara permulaan akan duduk bersila di depan mayat. Menatap wajahnya dengan senyum merekah. Barulah ia memanggil mayat itu dengan sebutan ibu. Selanjutnya ia akan mendekat dan memeluk mayat tersebut. Dan meminta maaf sebanyak 3 kali. Meminta maaf karena atas sebab lahirnya bayi yang kemudian bernama Gembara itulah Setya jadi meninggal.

 

Meski ritual tersebut dilakukan berulang kali selama bertahun-tahun. tetap saja Gembara tak bisa menahan tangis yang pecah sesaat setelah ia memohon maaf. Ia memang tak bisa melihat wajah ibunya ketika lahir. Ia tak bisa melihat sadar ibunya yang perlahan pergi. Dan pergi untuk selamanya.

 

Saat berusia 4, Gembara pernah mengajukan pertanyaan ke neneknya. Apakah ia adalah si pengundang kematian. Apakah ia adalah yang membunuh ibunya sendiri. Bila memang begitu, sungguh lebih baik dirinya tidak perlu hadir di dunia.

 

Sang nenek memberikan pengertian secara rutin. Bahwa kematian itu tak akan pernah bisa direncanakan manusia. Kematian ibu Gembara terjadi tiba-tiba dan tak ada kaitannya dengan lahirnya Gembara. Tapi tetap saja, sulit bagi Gembara untuk tak menyalahkan dirinya sendiri.

 

“Kamu tahu alasanku melakukan semua ini?” Tanya Gembara.

 

Meski Gembara belum sama sekali jujur mengenai alasan utama dirinya melakukan ritual itu sepanjang hidupnya selama ini. Tapi Rumaysa punya dugaan. Menurutnya, mungkin tindakan itu adalah penebusan dosa Gembara. Kemudian ia sampaikanlah dugaannya itu dengan nada hati-hati. Ia tak ingin menyakiti hati kekasihnya.

 

“Itu termasuk. Tapi yang utama bukan itu.”

 

Rumaysa menatap serius ke mata kasihnya. Dan ia diam menunggu Gembara melanjutkan jawabannya.

 

“Aku teramat rindu padanya.” Suasana diliputi keheningan seketika.

 

Gembara tersenyum tegar. Rumaysa kemudian memeluk kekasihnya dengan erat. Hingga kepala Gembara tertunduk di bahu wanita itu. Bersandar pada tempat yang dibutuhkannya.

 

“Tuhan pasti tahu seberapa besar kerinduanmu. Ibumu pun begitu. Dan betapa bersyukurnya Ibumu telah melahirkanmu.”

 

Gembara juga jadi menangis. Lelaki itu terisak-isak dan kesulitan untuk berbicara. Isi kepalanya bercampur semua memori dan isi hatinya bercampur ragam emosi. Mungkin pendaman itu telah bersemayam terlalu lama pada jiwa lelaki itu. Sampai ketika pendaman itu meluap, ia tak kuasa melepas tangisan yang sangat jarang keluar dari matanya.

 

“Bara.” Rumaysa mendongakkan kepala kekasihnya itu dengan lembut. Meluruskan tatapannya. Dan ia melepas senyum agar menularkan ketenangan ke kekasihnya.

 

“Bara, dengar. Tak ada yang salah dari merindu. Tapi bila rindu itu menyakitkan kita. Maka ada yang salah dari tindakan kita.”

 

Lelaki itu tampak berpikir. “Bagaimana bisa aku melupakan dosa besar yang telah kulakukan sejak bayi?”

 

“Hei! Dosa besar apa?! Sudah berulang kali kubilang, bagaimana bisa seorang bayi yang lemah membunuh Ibunya sendiri?”

 

Gembara kemudian merogoh sesuatu di saku celananya. Itu dompet yang biasa ia bawa ke mana-mana. Dan selalu sedihlah ia bila dompet itu hilang sejenak saja. Karena di dalam dompet itu terdapat foto satu-satunya yang menampilkan wajah ibunya sebulan sebelum ia lahir ke dunia.

 

Foto itu adalah permintaan langsung dari Setya pada ibu Rumaysa. Kala itu mungkin firasat sudah membisiki telinga Setya. Maka di saat perutnya sudah semakin besar dan rasa sakit juga sudah rutin ia rasakan. Maka ia meminta satu hal ke ibu dan nenek Rumaysa. Setya ingin difoto, sendirian. Karena nenek Rumaysa tidak paham dengan teknologi. Maka anaknyalah yang diminta memoto Setya.

 

Foto itu diambil di depan rumah keluarga Gembara. Dengan latar tembok polos yang pucat. Wanita itu melepas senyum damai sembari jemarinya yang bersih mengelus bayi di perutnya. Momen itu terabadikan dalam sebuah foto. Dan Gembara tak akan pernah menghilangkan foto itu.

 

“Nenekmu belum cerita tentang hal ini sepertinya.”

 

“Tentang apa?”

 

Gembara menarik napasnya dan mulai menyeka tangisnya. Kemudian jemarinya yang sedang menggenggam foto ibunya diarahkan mendekat ke Rumaysa. Agar foto itu dapat dilihat keduanya bersamaan.

 

“Setelah Ibuku difoto. Ia mengatakan…” Suara Gembara tersendat oleh sebab kesedihannya bila mengingat memori itu.

 

“Ibuku mengatakan agar ketika anaknya lahir, kelak panggilah Ibunya itu ‘kematian’. Ibu dan Nenekmu kala itu tak mengerti maksud perkataan Ibuku. Tetapi setelah kupikir lagi, sepertinya itu adalah isyarat dari kondisi yang dirasakannya.”

 

Gembara menjelaskan semuanya. Semua potongan informasi yang didapatkannya terkait hidup ibunya di beberapa bulan terkahir itu. Masa selepas menyentuh 7 bulan kandungan, benar-benar menyiksa Setya. Pada waktu berat itu Setya masih mengerjakan berbagai kewajiban rumah seorang diri. Ia sebenarnya meminta ke Komeng agar mengizinkan adik perempuannya untuk datang ke rumah dan membantunya mengerjakan segalanya. Tetapi permintaan itu langsung ditolak suaminya. Komeng beralasan, sebab bila adik iparnya diajak ke kota maka biaya hidup harus diberikan. Sedangkan saat itu, sudah 3 bulan Komeng menganggur.

 

Saat itu Setya dan suaminya masih mengontrak sendiri. Paman dan nenek Gembara baru datang ke kota dua bulan setelah Gembara lahir. Tujuannya adalah untuk mengasuh bayi mungil itu. Yang khawatir bila diurusi Komeng sendirian.

 

Selama menjalani masa berat sebelum melahirkan, berbagai kekerasan juga diterima Setya. Ia dipaksa untuk terus mengutang ke warung-warung dekat rumah. Sampai ia diharuskan menggadaikan cincin pernikahan, juga smartphone satu-satunya yang dipakai Setya untuk menerima panggilan dari majikan yang memperkerjakannya sebagai ART.

 

Komeng berdalih, bahwa di masa hamil itu, istrinya tak akan mengambil pekerjaan. Maka sementara waktu itu, smartphone yang dimiliki tak akan berguna. Maka lebih baik digadaikan atau dijual sekalipun. Barulah ketika selesai melahirkan, smartphone yang baru, coba dibeli dengan mencicil.

 

Bila sekali saja Setya membantah, maka tangan suaminya itu tak segan dilayangkan ke wajah istrinya. Lebam yang tampak biasa ditutupi koyo oleh Setya agar orang tak sadar akan bekasan kekerasan suaminya itu. Ia selalu beralasan sedang sakit gigi atau sedang keliyengan bila ditanya tetangganya tentang kondisinya yang lemah.

 

Orang sekitar tentu menaruh khawatir. Melihat wanita hamil besar yang kian hari kian lemah. Orang memang bisa mengurangi dugaan buruk. Mungkin itu faktor keletihan si ibu yang sudah waktunya melahirkan. Bobot janin itu semakin berat dan tenaga Setya semakin dikuras. Mungkin orang bisa mengira dugaan semacam itu. Tapi faktanya bukan semata kondisi alamiah itu saja. Perlakuan yang diterima Setya menambah ketersiksaannya di beberapa bulan terakhir sebelum melahirkan.

 

Semua rasa sakit ditampung fisik dan jiwa Setya. Di kepalanya yang pening memikirkan hutang, batinnya yang tertekan melihat tingkah suaminya yang kelewatan. Sampai sekujur tubuhnya yang berteriak keras menahan siksa. Namun ada sesosok malaikat yang akan hadir. Buah dari darahnya sendiri. Yang siap ranum tak lama lagi. Mengingat itu semua, dapat menghadirkan sabar di dalam diri Setya.

 

Kesabaran yang kemudian membuat langkahnya kuat. Sebagaimana telah juga menguatkan langkah ibunda Ismail berabad-abad lalu. Bayangan akan sosok anak telah memberikan kekuaatan luar biasa pada jiwa seorang ibu. Tak dapat terik menyerang, juga tak dapat hujan menghadang. Bongkahan batu besar pun akan coba dikikis oleh tekad seorang ibu dalam ikhtiar membahagiakan anaknya. Dan Setya hadir pada abad ini, menjadi seorang dari berjuta ibu lainnya yang sedang berjuang pada jalan hidup masing-masing.

  Baca Juga: Angguresia

Keesokan Harinya

 

“Bagaimana, sudah siap?” Tanya Gembara sembari memasangkan helm ke Rumaysa.

 

Wanita itu menunjukkan giginya yang putih. Hari ini ia memakai kacamata berlensa cokelat. Wajah itu jadi lebih segar ditatap.

 

Keduanya kemudian melakukan perjalanan. Di belakang, Rumaysa mengatur arah. Perjalanan akan memakan waktu lebih dari sejam. Karena kini mereka akan menyeberang ke Selatan Jakarta. Subuh tadi Gembara mendapat kabar. Orang itu tahu nomor Gembara dari seorang kenalan. Dan kata kenalan itu, Gembara adalah si pemburu kematian.

 

Orang itu agak canggung ketika berbincang dengan Gembara subuh tadi. Bagaimana bisa ia bercerita begitu saja ke orang asing tanpa konteks apapun, bahwa ibunya telah meninggal pukul 3 dini hari? Tak hanya bercerita bahkan ia sekaligus meminta orang asing itu untuk datang. Syukurnya, Gembara pandai mencairkan suasana. Dan perbincangan itu pun lancar. Gembara diminta datang ke rumah sakit Fatmawati pukul 6. Nanti Gembara akan mengikuti jenazah yang dibawa ke rumahnya. Setelah tiba di rumah jenazah tersebut, barulah Gembara diberi izin untuk melakukan ritualnya.

 

“Aku ingin juga melakukan ritual yang sama sepertimu, boleh?”

 

“Kenapa tiba-tiba sekali?”

 

Memang sudah beberapa kali Rumaysa melihat langsung kekasihnya ketika melakukan ritual di samping jenazah. Tetapi belum pernah baginya melakukan ritual tersebut dengan perilakunya sendiri. Dan hari ini ia didorong oleh nuraninya untuk melakukannya bersama dengan kekasihnya.

 

“Anggap saja ini permintaan izin sebelum pernikahan kita di tahun depan.”

 

“Oh! Serius?”

 

“Semalam kan, katamu ini jadi ritual terakhir? Mungkin ini juga waktu yang tepat bagi kita meminta izin.”

 

Gembara terlihat kaku seperti robot yang rusak, “Em… kamu belum menjawab. Apa benar tahun depan kita benar akan menikah?”

 

“Ya, tentu! Berapapun tabungan yang kamu punya. Datanglah ke rumah untuk menemui Bapak dan Ibuku. Semalam mereka sudah memberi restu.”

 

Merekahlah jiwa Gembara. Tubuhnya bergerak seperti ulat kepanasan. Tak disangkanya hal ini akan terjadi begitu cepat. Ia tak perlu repot-repot meyakinkan apapun ke calon mertuanya.

 

“Tidak sia-sia semalam aku mengajakmu ke tukang jamu.”

 

“Apa hubungannya?”

 

“Semalam kutaburi bubuk pemikat jiwa. Ternyata ampuh juga.

Di Rumah Sakit

 

“Ketika jasad Ibu keluar. Kalian boleh melihat dulu wajahnya. Dan nanti kalian bisa mengikuti ambulance dari belakang menuju rumah kami.”

 

Gembara mengangguk kecil. Dan ia tak berhenti menggumamkan doa kebaikan untuk ibu dan untuk si anak yang ditinggalkan.

 

Cukup lama kedua anak muda itu menunggu. Dan ketika melihat jenazah dikeluarkan, Rumaysa bangkit sementara Gembara menepi ke sisi dinding. Jenazah itu mendahului mereka beberapa meter ke depan.

 

Gembara meraih tangan Rumaysa, berusaha bersama untuk mengejar jenazah. Si anak kemudian menghentikan petugas. Jenazah pun berhenti. Gembara memacu langkahnya dan kini ia tiba di sebelah kepala jenazah itu. Selanjutnya ia menunggu agar petugas atau si anak lah yang bersedia menyingkapkan kain yang menutup.

 

“Silakan, kamu sendiri yang membukanya,” pinta si anak ke Gembara.

 

Wajah itu tampak begitu bersih. Meski sepasang matanya tertutup, tapi dapat Gembara rasakan kedua bola mata itu sedang menatapnya sejuk, seperti embun di kebun asri. Dan secara reflek, Gembara mengukir senyum di bibirnya.

 

“Boleh kusentuh wajah Ibumu?” Tanya Gembara ke si anak.

 

Tanpa ragu si anak mempersilahkan. Dan jemari Gembara pun perlahan membasuh dan mengelus pipi wanita itu. Keharuan menular ke orang sekitar. Si anak pun kembali melepas isaknya. Suaminya memeluk erat untuk memberikan kenyamanan.

 

“Cukup, terima kasih,” ucap Gembara pada petugas. Dan jenazah itu kembali diarahkan ke dalam mobil.

 

Si anak meminta Gembara buat menyiapkan kendaraannya. Karena ambulance itu akan lekas berangkat. Dengan lari kecil, Gembara dan Rumaysa menuju ke parkiran. Tak lama setelahnya, motor Gembara sudah membuntuti di belakang.

Setibanya di tujuan.

 

Seusai memarkirkan motornya, Gembara dan Rumaysa kembali berlari kecil menuju depan rumah itu. Dan ia telah melihat jenazah tersebut sudah digotong masuk ke dalam. Mereka berdua masuk dengan susah payah. Sebab banyak sekali orang berbaris di depan pintu. Akhirnya mereka mengalah, dan memilih untuk duduk di luar terlebih dahulu. Namun, si anak yang kebetulan melihat Gembara, secara reflek mendatangi, dan memaksa sepasang kekasih itu untuk masuk ke dalam.

 

Gembara dan Rumaysa duduk dengan terpisah 1 barisan saja dari jenazah. Sepertinya jenazah itu akan didoakan terlebih dahulu. Dan Gembara mengikuti rangkaian ritual keagamaan yang diadakan dengan begitu khusyuk.

 

Setelah doa dilantunkan, si anak datang ke Gembara dan berbisik, “Silahkan, aku sudah mengenalkanmu sebagai temanku. Dan kukatakan bahwa Ibuku punya hubungan cukup dekat denganmu. Jadi semuanya akan aman.”

 

Gembara bersyukur dan ia melepas napas berat dari mulutnya. Ritual terakhir ini benar-benar membuatnya gugup. Terhitung hanya beberapa kali ia gugup dalam melakukan ritual.

 

“Terima kasih.” Gembara kemudian beranjak bersama dengan Rumaysa. Keduanya kini tiba di sisi jenazah. Rumaysa telah hafal apa yang harus dilakukannya.

 

Gembara yang memulai. Kali ini ia mendahului dengan basuhan kembali ke wajah itu. Para hadirin memakukan tetap. Dan seketika kedua anak muda itu telah menjadi pusat perhatian. Setelah beberapa usapan, Gembara memanggil Ibu. Diikuti Rumaysa dengan suara berbisik.

 

“Bu, ini aku Gembara. Dan ini Rumaysa kekasihku.”

 

Rumaysa merespon senyum, kemudian ia mengenalkan dirinya sendiri. Suara mereka berdua ibarat desir angin yang tak dapat didengar dari jauh.

 

“Sudah bertahun-tahun Ibu hidup dalam hari-hariku. Senyummu, kehangatanmu, bisa kurasakan begitu dekat dari tiap jenazah yang kujumpai. Dan karenamu lah kematian jadi lebih indah kupandang.”

 

Gembara berhenti sejenak, bibirnya bergetar. Seperti ada kenangan yang sedang diingatnya begitu dalam.

 

“Hidupmu memang ganjil, Bu. Dulu engkau bilang telah mati sebelum kematian yang sesungguhnya datang menjemputmu. Namun setelah kematian benar-benar datang, engkau malah menjadi hidup. Sesungguh-sungguhnya hidup di hari-hariku.”

 

Si anak datang mendekat dan berbisik ke Rumaysa, memastikan berapa lama Gembara akan melakukan ritualnya. Rumaysa membalas lirih, mungkin 1-2 menit lagi. Si anak mengangguk dan kembali ke posisi awalnya.

 

“Ini terakhir kalinya Gembara melakukan ritual ini, Bu. Bukan karena Rumaysa atau karena siapapun. Setelah kupertimbangkan begitu matang. Ini adalah karenamu dan untukmu.”

 

Tangis Gembara pecah, dan ia selanjutnya memeluk erat sang jenazah. Antar pipi itu melekat. Dan saat kepala Gembara diangkat dan kini ia berada di atas wajah jenazah. Entah kenapa, apa yang dilihatnya berubah menjadi cahaya tanpa celah. Menyilaukan mata manusiawinya. Dan ia pun berpaling sembari menutup dengan sebelah tangannya. Hadirin merasa aneh. Begitu juga dengan Rumaysa di dekatnya.

 

“Kamu tidak apa-apa, Bar?” Tanya Rumaysa. Tetapi pertanyaan itu tak terjawab.

 

Saat cahaya yang berpendar perlahan berkurang dan kembali pada intensitas yang pas. Raut jenazah itu kembali pada normalnya, yaitu ibu dari si wanita tadi. Gembara pun melepas senyum.

 

“Bu, engkau sendiri yang dengan ikhlas memintaku memanggilmu dengan kematian. Maka untuk apa kubertahan menjagamu hidup?”

 

Suara Gembara berubah menjadi isak yang tak teratur. Lelaki itu kemudian memberikan dekapan terakhir kali. Dan kini giliran Rumaysa. Wanita itu ingin mengucapkan sepatah-dua patah kata pada Ibu Gembara.

 

Wanita itu sudah basah sedari tadi. Baik matanya juga sekujur jiwanya. Setelah mendengar rangkaian kalimat yang diucapkan kekasihnya. Dibuat ia seperti menghanyut di sungai tenang.

 

“Bu, ini aku, Rumaysa. Cucu dari Nenek Hariningsih. Dan anak dari Bu Rahma. Mereka kenal betul dengan sosok Ibu. Aku tak ingin banyak menyita waktumu. Karena memang harusnya engkau telah di alam di atas sana. Aku hanya ingin meminta izin darimu. Untuk bertahun-tahun ke depan, akan kuarungi hidup bersama anak kesayanganmu. Kutahu berat bagiku. Karena harus kujaga buah ranum yang engkau idam-idamkan. Tapi, aku sudah terpikat dengan buah ranum itu, yang sekarang telah jadi pohon kokoh. Aku berjanji, Bu. Akan bersama dengan Gembara sampai kami bersamamu kelak.”

 

Rumaysa mendekat dan mendekap jenazah itu. Matanya kini sembab. Dan ia berulang kali mengelap hidungnya dengan tisu. Kemudian ia melangkah menuju Gembara yang sudah kembali ke posisinya.

 

Saat jenazah mulai dibawa ke tempat pemakaman, beberapa orang melihat Gembara dan Rumaysa seperti sedang tak enak badan. Seorang wanita paruh baya mendatangi dan meminta sepasang kekasih itu untuk menghentikan langkah menuju tempat pemakaman. Lebih baik kembali ke rumah dan beristirahat. Tetapi keduanya menolak dengan lembut.

Di Tempat Pemakaman.

 

Gembara dan Rumaysa berdiri di posisi yang cukup jelas untuk melihat jenazah yang telah diturunkan ke liang lahat. Mata mereka berdua tampak begitu sayu, wajah mereka memucat, dan langkah tersendat-sendat.

 

Gembara melirik ke kekasihnya. Ia melepas senyum paling puas yang pernah dilihat Rumaysa. “Rum, sepertinya Ibu masih di dekat kita. Lihat penampilan kita sekarang. Seperti sedang di ambang kematian.”

 

“Iya, aku juga berpikir begitu. Mungkin ia sedang melepas perpisahan untuk yang terkahir kalinya.”

Usai

Tengoklah sekitarmu. Setiap manusia selalu membawa bebannya masing-masing di jiwanya.”

Bagikan Konten Ini

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *