Angguresia

Ilustrasi Demonstrasi Pendirian Negara Angguresia
Ilustrasi Demonstrasi Pendirian Negara Angguresia (Amine M'siouori/Pexels)

Pada tahun 2100, peradaban yang ada mengalami goncangan yang amat besar. Manusia tak siap dengan kemajuan teknologi yang sulit dibendung perkembangannya. Para robot dan AI (Artificial Intelligence) sudah nyaman menggantikan tenaga kasar bahkan kerja berpikir manusia. Hal ini membuat angka pengangguran meningkat drastis di tiap negara. Baik negara maju ataupun negara berkembang.

 

Ketimpangan yang nyata dan besar ini membuat terjadi pergolakan dan pemberontakan hampir di tiap harinya. Bahkan di beberapa negara berkembang, pemberontakan sampai berusaha untuk menurunkan kepala negara mereka. Ada yang berhasil, ada juga yang berakhir kekalahan.

 

Salah satu yang berhasil adalah yang terjadi di suatu wilayah di Asia Tenggara. Suatu negara berhasil diambil alih oleh kelompok pengangguran yang dipimpin oleh seorang bernama Muklis. Mantan preman di Pasar Kober. 

 

Ia dahulu sempat bekerja sebagai ojek online. Tetapi karena transportasi darat banyak digantikan dengan adanya kereta cepat, skuter dan mobil listrik sebagai kendaraan pribadi yang efisien. Juga drone yang dipilih untuk mengantarkan paket dan makanan ke pelanggan. Maka otomatis, semakin kecil peluangnya untuk tetap berada di pekerjaannya itu. Maka sudah 40 tahun ini ia menganggur.

 

Orang tak bisa menganggap remeh dirinya. Karena meskipun lulusan SMP dan pengalaman bekerja hanya sebagai tukang parkir, ojek online, dan pemalak, Muklis memiliki relasi yang kaya. Ia punya kenalan pejabat, dokter, guru, hingga para pengusaha, yang mana mereka semua kebanyakan dikenalnya dari hubungan pengemudi-pelanggan.

Satu kali, Muklis pernah berorasi di depan orang banyak.  “Mereka meremehkan preman dan para pengangguran. Padahal yang mereka tidak tahu, preman itu lebih kaya pengalaman hidupnya! Lebih matang nuraninya, karena kami bergaul langsung dengan rakyat! Kami tidak hanya mengurusi kekayaan diri seperti orang-orang angkuh itu!”

 

Semua berseru-seru heboh pada pemimpin mereka itu. Muklis membuat genggaman tangan dan mengangkatnya tinggi-tinggi, dan itu semakin membuat antusiasme menjadi besar. Para pengangguran yang merasa tertindas oleh kepentingan kelompok elit, merasa terwakili dengan partai yang dibentuk langsung oleh Muklis 15 tahun lalu. 

 

Kini saat partai mereka telah berhasil mengambil alih kepemimpinan negara. Betapa senang dan meriahnya perayaan kemenangan itu, yang terjadi tahun lalu. Dengan naiknya partai tunggal bernama Partai Solidaritas Pengangguran (PSP), maka nama negara pun diganti menjadi Angguresia. 

 

Pemimpinnya tentu Muklis dan wakilnya adalah seorang mantan guru filsafat yang telah menganggur 15 tahun lamanya. Namanya Kalam. Pekerjaannya telah tergantikan oleh robot guru yang sebenarnya amat buruk dalam mengajar. Gaya ajarnya membosankan, lebih membosankan dibanding manusia kaku. 

 

Setidaknya manusia kaku masih mampu berniat melucu dan kadang ketidaklucuannya malah menjadi lucu di mata siswanya. Tetapi robot tersebut memiliki niat saja, tidak! Dan ketidaklucuannya adalah tragedi dan sama sekali tidak menghibur kebutuhan humor para mahasiswanya.

 

Dari tangan Kalam jugalah, banyak mahasiswa yang terpikat untuk bergabung ke PSP (Partai Solidaritas Pengangguran). Para mahasiswa itu rela keluar dari pendidikan mereka, demi tidak lagi bertemu dengan robot pengajar sialan itu.

 

Mereka merindukan diajar lagi oleh sosok manusia, oleh guyon-guyon segar dari guru asli. Para mahasiswa itu bahkan sampai berjanji, bahwa bila pengajar kembali diisi oleh para manusia, dan Angguresia dapat menjamin itu, maka para mahasiswa akan belajar dengan sungguh-sungguh.

“Begini, Pak Muklis. Satu saran saya. Dan ini lahir dari perenungan panjang saya. Bila kita hendak melawan kemajuan teknologi itu. Kita harus mendalami filsafat dan mengajarkannya kepada tiap rakyat kita. Jadikan filsafat sebagai bagian utama dari kurikulum pendidikan yang kita buat.” Tutur Kalam dengan nada penuh keyakinan.

 

Muklis mengernyitkan alisnya, seolah sedang bertanya. Kemudian Kalam memahami gelagat itu. Maka ia jelaskan lebih lanjut. 

 

“Manusia kita ini menjadi malas berpikir mendalam, Pak. Mereka dituntut berpikir cepat dan otomatis. Benar, kan? Selain itu, perilaku mereka juga amat bebas dan tidak didasari oleh pijakan nilai moral tertentu. Moral bagi mereka sudah jadi barang rongsokkan. Moral bagi mereka adalah pelajaran di buku saja. Padahal tidak begitu, bukan, Pak?”

 

Muklis mengerti sebagian dari apa yang disampaikan Kalam. Tapi ia juga meminta kejelasan lanjutan soal moral yang disebut Kalam.

 

“Dengan adanya moral, kita menjadi memiliki pedoman berperilaku. Sehingga pedoman ini bisa membatasi perilaku kita agar tidak kebablasan, Pak. Hal ini akan amat berguna untuk memperjuangkan kemanusiaan, seperti yang Bapak sebut-sebut di dalam orasi.” Raut Kalam semakin tampak cerdas dan beraura di mata Muklis.

 

“Baiklah. Aku sudah muak dengan semua kemajuan ini! Oh iya. Kemarin kamu juga bilang bahwa Angguresia akan menjadikan pekerjaan filsuf sebagai bidang kerja prioritas di negara kita, betul?” 

 

Mata Kalam berapi-api, “Betul, Pak. Filsuf lah yang akan menjadi penyeimbang dan penengah zaman. Bersama dengan para pemuka agama.”

 

Muklis mengangguk-angguk. Di tiap anggukannya, ia sembari mencerna perkataannya dan perkataan wakilnya itu.

 

“Caraka, penasihat saya di bidang ideologi mengatakan, bahwa negara yang direnggut dengan pemberontakan maka akan jatuh lagi karena pemberontakan. Saya tidak ingin hal itu terjadi. Maka, pikirkanlah juga bagaimana cara agar negara yang kita perjuangkan susah payah ini bisa bertahan panjang. Ini demi masa depan para pengangguran. Paham?”

 

Kalam mengangguk sembari tersenyum patuh, berusaha meyakinkan atasannya tersebut. Dan Muklis telah sepenuhnya mengandalkan wakilnya itu. Ia tak hanya dijadikan tangan kanannya, tetapi juga seluruh sisi kanan tubuh dan jiwanya.

***

Di suatu wilayah…

 

Para anak muda semakin berani saja tampil di tengah masyarakat. Tanpa lagi khawatir dicecar berbagai pertanyaan menyebalkan seputar kerja, pasangan, dan masa depan. Mereka semakin yakin untuk menyuarakan pandangan ideologi mereka, Anggurisme, di mana salah satu pemikirannya berisi bahwa hidup yang benar adalah yang tak lagi terjebak di masa lalu atau terlalu memikirkan masa depan. Tetapi hidup yang hanya difokuskan pada hari ini. Saat itulah kita menghargai sepenuhnya sisi kesadaran pada jiwa manusia.

 

Pada perkumpulan keluarga juga, para anak muda yang telah berhasil menegakkan ideologi mereka, menjadi begitu percaya diri saat mengobrol dengan anggota keluarga mereka. Sebab, aturan dari presiden, menyampaikan bahwa siapapun yang dengan sengaja dan terencana menanyakan pekerjaan atau merendahkan pekerjaan orang lain. Maka orang tersebut akan dipenjara seumur hidup. Hal itu masuk ke dalam kejahatan ‘perendahan berencana.’

 

Danang Petok ialah salah satu dari anak muda yang memilih filsuf sebagai pekerjaan utama. Hari-harinya menjadi diisi dengan membaca, menulis, berpikir, dan berkeliling ke luar untuk mengamati masalah dan berusaha menyelesaikan masalah itu dengan kualitas akal dan nuraninya.

 

“Pak, Danang izin keluar cukup lama ya. Sepertinya malam nanti Danang baru akan pulang.” Ia kemudian mencium punggung tangan Bapak dan Ibunya.

 

“Iya, Nak. Silakan. Bapak dan Ibu bangga sekali memiliki anak yang bekerja sebagai filsuf. Tidak seperti anak tetangga, yang betah sekali menjadi PNS. Mau makan apa mereka menjadi PNS! Hahaha.”

 

Danang tersenyum canggung. Meski ada benarnya juga, bahwa para filsuf diberikan tunjangan besar dan jaminan paling mapan. Tetapi pemerintah melarang perendahan pekerjaan lainnya. Lagi pula yang dimaksud pemerintah dengan memprioritaskan bidang kerja filsuf dan pemuka agama bukan meninggikan derajat 2 pekerjaan itu. Tetapi hanya meningkatkan kadar keharusannya. Karena kondisi masyarakat saat ini sedang membutuhkan banyak filsuf dan pemuka agama demi menyeimbangkan hidup.

 

“Pak. Bila perkataan Bapak barusan diketahui penegak hukum kita. Bapak bisa dipenjara, loh! Bukannya kita ini dilarang merendahkan pekerjaan orang lain?”

 

Raut pria itu berubah menjadi cemas. Sepertinya ia merasa khilaf. “Iya, maafkan Bapak, Nak. Bapak rasa masih tersisa dendam pada diri Bapak pada mereka yang dahulu mengagung-agunkan kerja PNS itu. Maaf. Bapak akan menjaga perkataan Bapak.”

 

Danang Petok pun kemudian keluar. Pemandangan rutin yang ia lihat adalah di sepanjang jalan, berjejer para pelukis menggerak-gerakkan kuas mereka pada kanvas. Alam adalah sumber karya terbaik. 

 

Para pelukis di sepanjang jalan itu biasanya yang beraliran impresionisme, yang amat gemar menangkap fenomena aktual yang dilihatnya, dan dengan intuisi yang kuat, mereka lekas melukiskannya.

 

Selain pelukis, banyak juga penyair dan pemusik yang saling bekerja sama menghadirkan musikalisasi puisi terbaik mereka. Biasanya mereka menampilkan musikalisasi puisi itu di tempat-tempat ramai orang, seperti di taman terbuka, di area danau, sampai di tempat olahraga.

Danang Petok, dengan impresi yang dalam, melihat semua fenomena yang ada di kotanya. Ia menjadi emosional. Kemudian ia mengambil sebatang rokok dari kantung kemejanya. Menghisapnya beberapa kali. 

 

Kemudian berkata sendiri, “Perjuangan Tuan Muklis dan kelompoknya memang luar biasa. Mereka telah berhasil menciptakan kembali kesetaraan hidup yang diimpikan sejak lama. Tak ada pekerjaan yang rendah. Tak ada lagi keangkuhan pada bidang kerja tertentu. Semua mimpi setara. Dengan ambisi yang berusaha dikendalikan. Juga kemanusiaan dan sifat manusiawi yang kembali coba dihadirkan dan berusaha dipertahankan.” 

 

Tanpa terasa, pipinya basah. Ia menangis. Langkahnya berhenti di sebuah jembatan. Danang Petok melihat ke bawah, ke arah sungai besar yang nampak indah. Dan ia mulai menulis pemikirannya pada buku kecil yang dipegangnya. 

 

Dalam sehari, ia berkomitmen mesti menciptakan 10 puisi, 10 cerpen, dan 5 esainya. Bulan depan, ia berencana menerbitkan buku pertamanya, yang berisi buah pikirannya selama 3 tahun belakangan ini. Buku itu ia beri judul, “Pengangguran dan Keistimewaannya.”

Usai
Bagikan Konten Ini

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *